Dibutuhkan kesabaran dan kecermatan laiknya ibu bagi Rosita untuk membangun hutan organik di sebuah lahan kritis di Megamendung, Bogor, Jawa Barat.

---

Intisari hadir di whatsapp channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Selalu ada harapan di tengah segala kesemrawutan, meskipun cuma sedikit.

Begitulah yang terjadi pada seorang perempuan bernama Rosita. Di tengah isu penggundulan hutan yang tengah masif di Indonesia, Rosita semacam anomali.

Mengutip National Geographic Indonesia, lebih dari 5.700 hektar hutan di jalur Puncak, Bogor, hilang antara 200 hingga 2016. Itu yang dicatat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sementara temuan Forest Watch Indonesia (FWI), ada perubahan signifikan yang mencapai 2.300 hektare terhadap kondisi penutupan hutan dan lahan di Kawasan Puncak Bogor antara tahun 2017 hingga 2024.

Di tengah kondisi itu, datangnya Rosita. Pada 2001 lalu, sang suami, Bambang, punya mimpi untuk tinggal di hutan. Dalam kondisi itulah Rosita mengatakan kepada sang suami, yang kira-kira, jika hutan sudah tak ada, kenapa tidak bikin hutan saja.

untuk mewujudkan impian itu, mereka kemudian menjual aset keluarga dan membeli sekira 2000 meter persegi lahan, langsung dari warga. Lahan yang mereka beli tandus belaka, bekas perkebunan singkong dengan pH 2,5-4, tidak ada cacing, tak ada air. Yang ada cuma alang-alang yang setinggi tubuh manusia dewasa. Kata orang, mustahil membuat hutan di situ.

Dan seolah benar, ribuan bibit pertama mati karena sulitnya akses air. Meski begitu, Rosita tak menyerah. Dia kemudian melakukan model rehabilitasi ekosistem dan lahan kritis berbasis pertanian dan peternakan organik.

Bali Organic Association didapuk sebagai pembimbing atau semacam konsultan. “Hutan dibuat dengan pola tumpang sari atau sistem agroforestri yang menggabungkan pohon keras, sayuran, dan peternakan tanpa kimia,” tulis NG Indonesia.

“Saya merancang pola tanam berjarak 2,5x2,5 meter, maka dalam 1 hektar ada 1500 pohon,” ujarnya. Dia juga menerapkan inovasi teknologi sederhana seperti penggunaan pompa hidram untuk mengangkat air ke area yang lebih tinggi – sebelum mata air benar-benar pulih sepenuhnya.

Dan seiring waktu, kesabaran serta kerja keras Rosita membuahkan hasilnya. Setelah tiga tahun, dua mati air yang awalnya mati hidup kembali. Lebih dari itu, dua mata air itu membentuk DAS mikro baru yang mendukung sistem DAS Ciliwung yang lebih besar.

Tak hanya itu, hutan organik ala Rosita itu kemudian menjadi ruang ekosistem baru dengan berbagai jenis flora dan fauna ada di dalamnya. Juga menjadi sumber pangan baru, udara bersih, sumber air, dan – yang tak kalah penting – ruang belajar baru.

Yang datang kemudian tak sebatas para peneliti, tapi juga anak-anak sekolah. Dari kebun itu, tak hanya ekosistem dan sumber udara bersih baru, Rosita juga berbagi sayuran dan bibit. “Dulu tetangga kesulitan air,” katanya. “Sekarang air bisa mengalir dari mata air di sini.”

Sekarang telah hadir kembali 125 jenis pohon, 25 jenis burung, 10 herpetofauna, dan hampir 60 jenis di hutan organiknya. Apa kira-kira yang lebih membahagiakan bagi bagi Rosita sekarang?

Tapi apa yang diraihnya sekarang tentu butuh perjuangan dan pengorbanan yang tidak sedikit. Selain persoalan-persoalan yang sudah disebut di awal, dia juga harus berhadapan dengan para penjarah kayu, calo tanah, pungutan liar, hingga intimidasi terhadap warga kecil yang dianggap “menghambat investasi”.

“Ibu sampai hampir diculik,” kenangnya pelan. “Para calo tanah itu minta jatah, hitungannya per meter. Kalau Ibu lemah, tidak akan sampai seperti ini. Ibu harus jadi macannya hutan.”

Ucapan itu dia buktikan dengan bersikap tegas terhadap apa pun dan siapa pun yang ingin menguasai hutan organiknya. Salah satu langkah sederhananya adalah dengan tinggal di hutan itu.

Selain dengan para kucing garong itu, Rosita juga harus berhadapan dengan struktur agraria yang timpang, di mana tanah desa mudah berpindah tangan ke pemodal besar. Dia juga harus berhadap dengan stigma yang mengatakan bahwa perempuan tak pantas mengurus urusan tanah dan hutan. Tapi dia telah membuktikan bahwa dirinya adalah “ibu dari hutan”.

Baginya, membuat hutan tak sekadar menanam pohon sebanyak-banyaknya. Karena itulah, “Dia menolak pendekatan instan seperti program menanam dengan target ribuan pohon dalam satu waktu, tetapi berakhir tanpa perawatan lanjutan,” tulis NG Indonesia. Paling tidak, Rosita butuh waktu tiga tahun untuk membangun hutan organiknya itu.

Tapi bagi Rosita, tiga tahun itu bukan sekadar lama waktu membangun hutan. Menurutnya, tiga tahun itu adalah persoalan ketekunan. Dia sadar, membangun ekosistem yang sehat memerlukan kesabaran, perhatian, dan sikap yang tak buru-buru, laiknya seorang ibu.

Sikap penuh kecermatan itu tercermin dari cara Rosita memilih bibit, membuat pupuk organik, hingga memastikan setiap pohon bertahan hidup. Dan yang lebih dari itu, yang terpenting bagi Rosita adalah bagaimana merawatnya.

“Sama seperti mengurus bayi,” ujarnya. “Jika Ibu sudah tidak ada, hutan ini harus tetap hidup, agar jadi kebun raya kecil (juga) tempat belajar.”

Contact to : xlf550402@gmail.com


Privacy Agreement

Copyright © boyuanhulian 2020 - 2023. All Right Reserved.